Minggu, 25 September 2011

Islam Trans Nasional : dari ancaman menjadi alternatif **

Sejak peristiwa 9/11 2001, terma Islam trans nasional menjadi sangat populer di kalangan sosiolog dan pengamat politik Islam. Terma ini digunakan untuk mengidentifikasi model gerakan Islam mondial dengan corak tertentu, tersentral, menafikan improvisasi lokal, dan cenderung fundamentalis. Terma-terma lain yang banyak digunakan sebagai sinonim Islam trans nasional di antaranya: Islam Internasional dan Globalised Islam.[2]

Paling tidak, ada dua paradigma yang bisa digunakan untuk melacak akar Islam trans nasional. Pertama,, romantisme khilafah Islamiyah. Sejak runtuhnya Turki Utsmani pada tahun 1924 M., maka secara de jure khilafah Islamiyah berakhir. Walaupun secara de facto barangkali telah lumpuh jauh sebelum itu. Namun hasrat di sebagian kalangan umat Islam untuk menghidupkan kembali sistem khilafah tidak pernah padam. Hasrat ini mengejewantah (dan bermetamorfosa) dalam berbagai bentuk, di antaranya dalam bentuk Islam trans nasional.

Kedua, tekanan arus globalisasi, westernisasi, dan kenyataan muslimin sebagai minoritas di sejumlah negara. Tekanan ini mendorong sebagian umat Islam mencari jalan keluar dan memperkuat asosiasi di antara mereka. Tentu saja, karena globalisasi dan westernisasi menekan tanpa mengenal sekat-sekat negara-bangsa, maka Islam trans nasional menjadi model yang menjanjikan sebagai arus tandingan.

Bila kita batasi kajian ini dalam konteks keindonesiaan, terdapat tiga mainstreams Islam trans nasional yang merambah tanah air. Yakni, arus Ikhwan al-Muslimin yang berhulu di Mesir, Syiah yang dimotori Iran, dan arus Wahhabi yang disokong Arab Saudi. Dalam perjalanannya, gerakan Islam trans nasional acap ‘di persimpangan jalan’ antara bentuk reformis dan bentuk revolusioner; antara tujuan mereislamisasi umat, dan tujuan merengkuh kekuasaan negara.

Baik gerakan yang lebih memilih bentuk reformis maupun bentuk revolusioner sering diapresiasi sebagai ancaman oleh institusi-institusi Islam yang telah mapan dan memiliki akar historis kuat di Indonesia. Pertanyaan yang kemudian merebak ke permukaan: Apa yang salah dengan gerakan-gerakan Islam trans nasional yang masuk ke Indonesia? Tidak adakah solusi yang dapat mendorong gerakan-gerakan tersebut agar mereinkarnasi dari ancaman menjadi alternatif?

Ketika Islam Trans Nasional Menjadi Ancaman

Pimpinan dua ormas terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, telah mewanti-wanti basis massa mereka agar mewaspadai gelombang Islam trans nasional. Peringatan ini, bisa jadi, berangkat dari fenomena-fenomena di lapangan yang mengkristal dalam tiga poin berikut ini:

Pertama, Islam trans nasional disinyalir sebagai kulit luar dari penyebaran madzhab (sekte) tertentu. Ada kecenderungan –yang awalnya samar, namun lama-kelamaan semakin jelas—gerakan Islam trans nasional menjelma menjadi propaganda internasionalisasi Islam ala Syiah, Wahhabi, dan lain-lain.

Kecenderungan inilah yang ditengarai telah menjadikan Islam sebagai kamuflase serta ‘bemper’ saja, dan bukan sebagai ruh yang dominan dalam gerakan-gerakan Islam trans nasional (Islam is never a dominant strategic factor). Indikasi yang paling kuat adalah seringnya gerakan-gerakan Islam trans nasional menyerang model dan praktek keagamaan yang telah mengakar di masyarakat, sekalipun dengan dalih kembali kepada Islam yang murni (return to the ‘pure’ Islam).

Kedua, gerakan Islam trans nasional berpretensi merengkuh kekuasaan negara.[3] Sebagian ingin mewujudkannya dengan tetap mempertahankan bentuk dan konstitusi RI, namun sebagian yang lain menganggap perubahan bentuk dan konstitusi tersebut sebagai prinsip yang tidak bisa ditawar.

NU dan Muhammadiyah yang terlibat intens dalam perjalanan panjang negara-bangsa Indonesia, sejak perjuangan kemerdekaan hingga perumusan konstitusi RI, merasa memiliki keterpanggilan moril untuk menghindarkan bangsa ini dari keterputusan sejarah. Sebab bentuk negara dan konstitusi yang berlaku saat ini diyakini sebagai kompromi terbaik bagi segenap lapisan bangsa Indonesia.

Ketiga, gerakan-gerakan Islam trans nasional acap ‘mengakuisisi’ aset ormas maupun institusi Islam yang lain. Bukan hanya aset basis massa, tetapi juga aset sarana dakwah dan SDM-SDM potensial penggeraknya.

Dalam situasi seperti ini, dialektika yang berkembang antara gerakan-gerakan Islam trans nasional dengan ormas-ormas yang lebih tua kemudian menjauh dari idealitas al-ta’âwun ‘alâ al-birr wa al-taqwâ. Akan tetapi lebih seperti persaingan dua perusahaan taksi yang berebut dalam merekrut sopir yang handal, juga dalam menarik penumpang.

Islam Trans Nasional sebagai Alternatif, Mungkinkah?

Bila muara yang hendak dituju oleh Islam trans nasional adalah berdirinya khilafah Islamiyah, rasanya sangat sulit menjadikannya sebagai gerakan alternatif di Indonesia. Namun tren di berbagai negara saat ini menunjukkan bahwa mayoritas gerakan Islam trans nasional lebih membidik masyarakat daripada mendirikan negara Islam. Olivier Roy, seorang pengamat Islam politik yang berpengaruh, menyatakan, “The contemporary religious revival in Islam is targeting society more than state and calling to the individual’s spiritual needs.”[4]

Proyek shahwah Islamiyah yang dimotori Dr. Yusuf al-Qaradhawi dan menuai dukungan luas di kalangan pengikut dan simpatisan Ikhwan al-Muslimin, tentu lebih layak merepresentasikan arus utama Islam trans nasional dibanding faksi lain semisal Hizbut Tahrir. Demikian pula Ahlu Hadits di kawasan anak benua India dan Harakât Ishlâh di Maroko, dan seterusnya.

Oleh sebab itu, belum tertutup kans bagi Islam trans nasional di Indonesia untuk terbebas dari stigma ‘ancaman’. Syukur-syukur jika kemudian bisa bermetamorfosa menjadi alternatif. Sedikitnya, ada tiga agenda yang perlu dikembangkan dalam kerangka ini:

Satu, mengembalikan Islam trans nasional sebagai wahana pemberdayaan dan asosiasi umat Islam. Terutama dalam menyikapi arus globalisasi, westernisasi, keterbelakangan umat, ketidakadilan, dan seterusnya.

Kaum intelektual Barat yang dikenal objektif berbicara tentang Islam –seperti John L. Esposito, Karen Armstrong serta Olivier Roy—percaya bahwa tekanan globalisasi dan westernisasi merupakan pendorong utama munculnya Islam trans nasional.[5] Adanya faksi yang mengimpikan khilafah Islamiyah bisa jadi sengaja dibesar-besarkan oleh sejumlah media dan pemikir Barat lainnya untuk memantik gejolak dan resistensi di kalangan umat Islam sendiri.

Dua, menghargai perbedaan pendapat dan ‘improvisasi’ lokal. Agenda kedua ini sangat penting guna membuktikan bahwa Islam trans nasional ada untuk kepentingan Islam dan umat Islam secara universal, bukan sebagai ‘kepanjangan tangan’ sekte tertentu.

Barangkali, ungkapan bijak Syaikh Muhammad Abduh menarik untuk direnungkan bersama: “Nata’âwan ‘alâ mâ nattafiq, wa natasâmah fîmâ nakhtalif”, mari kita bahu-membahu dalam hal-hal yang disepakati, dan bersikap toleran dalam hal-hal yang menjadi perbedaan pendapat.

Sikap semacam ini merupakan teladan kearifan para al-Salaf al-Shâlih dalam meyikapi perbedaan di antara mereka. Sebutlah sebagai misal: Imam Abu Yusuf yang tetap bermakmum di belakang Khalifah Harun al-Rasyid yang menunaikan shalat tanpa berwudhu lagi setelah berbekam. Padahal dalam madzhab Imam Abu Yusuf, wudhu’ seseorang batal apabila keluar darah.[6] Pun, Imam Syafi’i yang sering bermakmum kepada ulama Madinah. Padahal beliau tahu, ulama Madinah tidak pernah membaca basmalah dalam shalat, baik dengan suara keras ataupun dalam hati.[7]

Tiga, memberikan perhatian ekstra pada bidang yang tidak rawan konflik horizontal, namun efektif memberdayakan umat. Misalnya, bidang ekonomi. Menurut data OKI, sampai tahun 2001 volume perdagangan antaranegara muslim hanya 10% dari volume perdagangan negara-negara muslim dengan negara-negara non muslim.[8]

Last but not the least, akselerasi Islam trans nasional di Indonesia harus diakui menjadi hikmah tersendiri bagi ormas-ormas yang telah memiliki akar historis kuat di Indonesia. NU dan Muhammadiyah, misalnya, dituntut mampu membumikan fikih ikhtilaf dan meningkatkan amal-pengabdian mereka. Semoga keberagaman gerakan-gerakan Islam ini membawa berkah bagi bangsa Indonesia.


** Abdullah Hakam Shah, Sarjana Al-Azhar Cairo dan Master jebolan Islamabad Univ Pakistan

Ampera Raya, 22 April 2009



[1] Makalah pengantar dalam diskusi FKMSB di Aula Wisma Bahagia IAIN Sunan Ampel Surabaya, 24 April 2009.

[2] Kedua terma ini misalnya digunakan oleh Olivier Roy dalam The Failure of Political Islam, (MA: Harvard University Press, 1995), dan Globalised Islam, (UK: C. Hurst & Co. Publishers, 2004).

[3] Hampir semua gerakan Islam trans nasional sepakat bahwa dengan merengkuh kekuasaan negara akan mempermudah proses reislamisasi umat yang telah terpolusi oleh nilai-nilai tidak islami.

[4] Olivier Roy, Globalised Islam, hlm. 3.

[5] Esposito, John L., What Everyone Needs to Know about Islam, (Oxford: Oxford University Press, 2002), hlm. 135. dan Olivier Roy, op.cit., hlm. Ix.

[6] Al-Dahlâwi, Shah Waliyullah, Hujjatullah al-Bâlighah, (Kairo: Dâr al-Turâts, tt.), 1/159.

[7] Ibnu Taimiyah, Taqiyuddin Ahmad bin Abd Halim, Majmu’ Fatâwâ, (Kairo: Dâr al-Hadits, 2000), 20/362.

[8] Zaqzuq, Mahmud Hamdi, Reposisi Islam di Era Globalisasi, terjemahan Abdullah Hakam Shah, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 7.

Ibu, Idealistas Perempuan**

Mendengar kata ibu, yang ada di benak kita adalah sosok wanita yang tabah, penuh kasih sayang dan kelembutan. Yaach…ibu adalah wanita yang mempunyai banyak kasih sayang dan tak pernah berhenti mengalirkannya untuk sang buah hati dan keluarganya tercinta. Kasih sayangnya tak pernah usang termakan zaman, tiada hentinya sepanjang masa.

Sosok Ibu mencerminkan idealitas seorang wanita dalam kodratnya. Bahkan seringkali bagi anak lelaki mengidentikkan sosok ibunya sebagai idealitas wanita yang didambakan untuk menjadi pendamping hidupnya kelak.

Mencuplik apa yang dinyatakan oleh Sherly Ortner bahwa dalam perspektif jenis kelamin dan gendernya, sebagai wanita ibu mempunyai kekhasan yang merupakan kodratnya.

Secara biologis, ia mempunyai organ-organ tubuh dengan fungsinya yang khusus pula yang sesuai dengan perannya sebagai ibu. Menstruasi, melahirkan dan menyusui adalah fungsi dan perannya sebagai seorang wanita dan ibu. Semua fungsi dan perannya itu dijalani tanpa perlu belajar, karena semua akan terjadi secara alami dan naluriah.

Dalam kehidupan sosial, ibu sebagai seorang wanita akan sering bergesekan dengan peran dan status sosialnya. Tidak berniat menggugah dan menajamkan kembali budaya patriarkhi, hanya memberi sedikit gambaran bahwa ketika seorang wanita yang menjadi ibu harus mengandung dan menyusui, ia akan sering berada di rumah dan menjalankan perannya sebagai seorang ibu rumah tangga. Karena kewajiban ini demi kelangsungan generasinya. Dan dengan kondisi seperti itu, gerak dan aktivitasnya dalam lingkungan sosial akan terbatas. Bukan untuk diskriminasi ekstrim terhadap wanita, namun jelas perlakuan dalam sistem hukum dan sosial pun jelas disesuaikan dengan segala kekhususan dan kondisinya itu.

Secara psikologis, wanita mempunyai kepribadian dasar yang narsistik yang membuat wanita pandai rias diri dan altruistic yang menjadikan seorang ibu mempunyai penuh kasih sayang dan ketabahan. Selain itu, karena wanita mempunyai feminine psyche yang berarti emosional/kecenderungan mendahulukan aspek perasaannya serta cara berfikir yang irrasional. Namun, asumsi ini banyak menimbulkan kontroversi dan pertentangan khususnya di kalangan aktivis gender. Karena seringkali dalam beberapa kasus, wanita justru bisa berfikir lebih praktis dan rasional daripada laki-laki.

Belum lagi masalah-masalah lain yang berkaitan dengan persoalan dilematis yang dialami wanita khususnya seorang ibu. Salah satu contohnya persoalan poligami yang menjadi berita hangat di media massa.

Terlepas dari ciri, kodrat dan stereotype gendernya itu. Bagaimanapun ibu adalah sosok wanita yang membawa kedamaian,

kelembutan dan kegigihan dalam kehidupan rumah tangga, mendidik dan membesarkan anak-anaknya.

Sebagai seorang isteri, ia dengan sabar mendampingi dan memberi dukungan kepada suaminya dalam kondisi susah dan bahagia. Sebagai seorang ibu, ia tabah dan penuh kelembutan mengawal dan memberi kasih sayang kepada anak-anaknya.


Ibu yang pertama kali mengenalkan dunia yang dulu masih asing bagi kita. Ibu yang mengajarkan pada kita cara memandang dunia dan ibu yang selalu sabar membimbing dan mengiringi kita dalam melalui masa-masa perkembangan.


Nah, pertanyaan yang muncul sekarang adalah sejauh mana kita sebagai anak mengerti dan menyadari pengorbanan seorang ibu? Bagaimana cara kita membalas atau setidaknya menghargai segala pengorbanan seorang ibu?walau, seorang ibu tidak pernah menuntut balasan atas segala yang sudah dilakukan itu kepada anaknya. Dan kalaupun ada yang seperti itu, pastinya terjadi di sinetron.


** Himmah al-Akhwafillah, Aktifis gender dan mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Gajayana Malang

Sabtu, 06 November 2010

Menjadi pemuda sejati*

Syubbanul yaum rijalul ghadz…
Pemuda hari ini merupakan pemimpin pada hari esok, Begitulah petikan hikmah yang menjadi asas para pemuda untuk menggalang persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia.

Pemuda adalah tokoh utama yang mendalangi kemerdekaan, sebab walaupun para pahlawan kita terus meneriakkan kemerdekaan dengan semboyan Isy kariman au mut syahidan ; hidup mulia atau mati syahid, namun nilai minus dari perjuangan masyarakat Indonesia terletak pada tidak adanya pemersatu yang menjadi wadah yang menyatukan semangat perjuangan, maka ‘ibarat lidi yang lemah tanpa wujud sapu’ mereka berinisiatif untuk menghimpun seluruh pemuda dari Sabang sampai Merauke untuk membangkitkan rasa nasionalisme demi terciptanya kemerdekaan negeri kita

28 Oktober 1928 Sumpah Pemuda dikumandangkan, bangsa Indonesia mulai bangkit melalui para pemuda, nasionalisme mulai menemukan auranya, dan gairah para pejuang semakin menggelora. Sejak saat itulah jiwa kepahlawanan berapi-api di setiap pelosok tanah air tercinta
Jadi Tidaklah mengherankan bila terdapat keyakinan bahwa tanpa Sumpah Pemuda kemerdekaan bangsa tidak dapat diraih. Karena Sumpah Pemuda menjadi ajang pemersatu kebulatan tekat anak-anak bangsa. Perjuangan pemuda tidak berhenti pada Sumpah Pemuda. Kiprah pemuda berlanjut pada era kemerdekaan ketika para pemuda ‘menculik’ Sukarno ke Rengasdenglok dan kemudian bersama Hatta merumuskan teks proklamasi pada 17 Agustus 1945. Maka sebenarnya tanpa peran pemuda teks proklamasi tidak mungkin dibacakan Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia yang notabenenya Atas desakan bahkan ancaman para pemuda

Sejak saat itulah kita telah merdeka dari penjajahan, namun rasanya kita belum merdeka secara perfect karena tidak banyak rakyat yang merasa hidup seperti budak di negeri sendiri. Hal inilah yang merupakan P(e)-(e)R bagi kita terlebih lagi sebagai mahasiswa, Ingatlah bahwa kejayaan suatu bangsa tergantung dari sejauh mana pribadi dan keluhuran para pemuda saat ini, tapi sebuah tanda tanya besar bagi kita yang mayoritas sedang ‘terlena’ dan sering ‘bermimpi’ untuk hidup glamour padahal masa depan jelas di tangan kita

Muhammad Mahdi berpendapat bahwa Bahwa pemuda merupakan amunisi masa depan, buah menuju kebangkitan, pintu keluar dari keterpurukan menuju kemajuan. Beliau memberikan tiga himbauan pada para pemuda yakni ;Pertama, pendidikan yang layak untuk hidup di bawah naungan risalah, membentengi jiwa dengan ilmu pengetahuan, mengobarkan semangat kesadaran, dan bersikaplah istiqamah (integritas) dan I’tidal (sikap lurus), sesuai dengan manhaj (Platform) Islami; sehingga mampu menjalankan tugas-tugas berat, dalam memberikan yang terbaik bagi agama, nusa dan bangsa. Kedua, ikuti reformasi yang integral dan optimis punya potensi, sehingga dapat terbiasa melakukan nilai-nilai positif, meninggalkan sikap acuh tak acuh dan ketidak-pedulian serta sikap negatif yang telah banyak merasuk dalam kehidupan para pemuda. Dan yang Ketiga, Kepada para pemuda yang sudah menjadi pemimpin bangsa dalam berbagai bidang dan tingkatan; hendaknya memberikan kesempatan kepada mereka untuk bebas bergerak dan memilih guna mengembangkan bakat dan mengeksplorasi potensi yang mereka miliki, dan juga memberikan kesempatan untuk bertemu dengan seniornya untuk mengambil manfaat dari pengalaman serta mencontoh ibrah dari pengalaman mereka; sehingga menyatu antara potensi pemuda dengan kebijaksanaan dari orang tua agar membuahkan hasil menjadi orang yang cerdas dalam memberikan pendapat dan baik dalam kerja

Sebagai ikhtitam, semoga melalui refleksi Sumpah Pemuda kita bisa lebih bangkit dengan bercermin pada perjuangan para pendahulu. Better late than never, maka tidak ada langkah yang lebih tepat untuk berubah kecuali berbenahlah sekarang juga

*Abdullah Hanani Basyayef, PTKP Adab

Selasa, 22 Juni 2010

Tafakkur


Kedamaian ? Hampir Tertangkap Mimpi


“ Tanah itu menangis padahal dahulu kala di sanalah Ibrahim As tumbuh besar, tanah itu bersedih padahal dialah saksi kejayaan Muhammad SAW bersuka cita menyambut perintah Tuhan melalui Aqsa”

Kata yang sangat indah bila digunakan untuk mengingat keberhasilan para anbiya` melalui perjuangannya yang selalu tak luput dari Palestina
Namun sekarang Bumi para Nabi itu justru menjadi ajang penampilan ‘kembang api’ bom, nuklir, rudal dan senjata pemusnah lainnya

Wa lan tardlo `anka al yahuud wa lan nashara hatta tattabi`a millatahum, sepertinya Firman Allah ini sangat tepat jika digunakan untuk menguak misteri pertikaian yang tidak pernah selesai antara Palestina dan Israel

Sebab konflik yang terjadi bukan semata-mata karena politik pemerintah Israel dan HAMAS saja namun misteri perebutan bait al maqdis yang merupakan tempat suci bagi Muslimin dan agama Yahudi-Nasrani juga merupakan misi terpendam dari kubu masing-masing
Bantuan kemanusiaan bagi rakyat Palestina di blokade, Aina jundul muslimiin
akankah Perdamain hampir tertagkap mimpi di Bumi mulia itu?


Abdullah Hanani Basyayef

Opini

Save Our Palestine*



Saya teringat ketika setelah beberapa saat berita tentang penyerangan kapal misi kemanusiaan untuk Gaza "Mavi Marmara" yang diserang dengan membabi buta oleh militer Israel dengan berujung terlukanya beberapa relawan, ditawan, bahkan di bunuh. Tiba-tiba sebuah pesan singkat dari teman sekolah saya masuk ke inbox HP, dia menanyakan tanggapan dan langkah apa yang akan saya lakukan setelah mendengar berita yang memilukan tersebut?. Saya terdiam sejenak, seakan belum paham mengapa tiba-tiba dia bertanya seperti itu?. Lalu setelah larut merenung saya tertunduk malu, mungkin tujuan teman saya hanya ingin tahu apa yang dilakukan seorang mahasiswa yang kata orang sangat kritis, dinamis, dan kreaktif.

Kejadian di Gaza, Palestina adalah kejadian yang menjadi sorotan internasiaonal, banyak kalangan mengecam tragedi tersebut yang konon telah berlangsung di Palestina sejak 2006 bahkan sebelum itu. Namun dunia internasional hanya bisa mengecam tanpa mampu melakukan langkah konkret menstop kebrutalan zionis Israel di Gaza tersebut

Israel mengklaim perbuatan mereka diizinkan oleh undang - undang internasional, denagn dalih "karena itu, sesuai hukum internasional" ungkap Menlu Israel Yighal Palmor. Sikap tidak senonoh ini dilanjutkan sengan menolak seruan PBB untuk diadakan penyelidikan terhadap penyerbuan itu.

Perlu kita ketahui mengapa Israel sangat ‘bernafsu’ membungi haguskan Palestina? Kurang lebih ada empat tujuan mereka. Pertama, adalah menghancurkan HAMAS (fraksi islam garis keras di Palestina), sebuah tujuan yang betul-betul tidak realistis. Bahkan HAMAS dicap teroris oleh mereka. Kedua, adalah untuk kepentingan pemilu di Israel. Penyerangan di Gaza juga dilakukan untuk menolong Kadima dan sebuah usaha untuk mengalahkan Likud dengan pemimpinnya Benyamin Netanyhu, yang baru-baru ini mendapatkan suara terbanyak. Ketiga, berkaitan dengan militer, terutama Setelah rasa malu yang diterimanya saat memerangi Libanon selama musim panas tahun 2006, maka Israel telah berusaha mencari kesempatan untuk kembali dengan membangun kekuatan global. Keempat, usaha mereka untuk menghentikan diluncurkannya roket Qassam ke wilayah kota di bagian selatan Israel. Sebenarnya empat tujuan ini hanyalah topeng mereka saja.

Maskipun begitu alasan mereka sungguh tak dapat diterima karena mereka mengutamakan kepentingannya sendiri yang buram di mata dunia dengan cara menghancurkan, mengebom, meblokade, dan melarang masukya bantuan kemanusiaan ke wilayah Gaza. Mereka tak melihat sisi kemanusian, bagaimana dengan masa depan rakyat Gaza?. Maka lazimlah bila Sekarang Gaza disebut sebagai "penjara" terbesar didunia.

Berbagai dampak buruk pemblokiran tampak dalam kehidupan masyarakat Gaza secara sosial dan ekonomi. Kekurangan sandang, pangan, ketiadaan tempat tinggal, minus listrik dan air bersih, sekolah-sekolah yang rata dengan tanah, kehilangan pekerjaan dan rasa aman – tidak ada jaminan keselamatan jiwa, mewarnai kehidupan warga Gaza sehari-hari.

Sampai sekarang tak ada seorangpun yang bisa menghentikan tragedi tersebut walaupun aksi solidaritas dilakukan oleh beberapa kalangan agamis, nasionalis dan termasuk pula datang dari mahsiswa, namun semua itu toh tak mengubah sikap zionis Israel. sampai PBB yang didirikan untuk menciptakan perdamaian dunia tidak mampu meredamnya.

Maka sebagai peutup tulisan ini, kita perlu mengamini pendapat Din Syamsuddin yang merupakan Ketua prakarsa persahabatan Indonesia-Palestina yakni , ”sikap Indonesia tidak cukup hanya dengan memprotes atau mengutuk kekejaman Israel, tetapi harus diwujudkan dalam langkah yang lebih efektif untuk menimbulkan efek jera terhadap Israel.”


*) Muhammad Sholeh al-Ihsany, Aktivis HMI Fak. Adab yang selalu berkarya dengan senyuman

Jumat, 18 Juni 2010

graduation....

keluarga besar HMI Komisariat Adab Sunan Ampel Surabaya mengucapkan selamat atas suksesnya acara BIMTEST `10 yang di pimpin oleh kawan Muhyiddin dari Fakultas Adab

Selasa, 01 Juni 2010

Artikel Pemilu


Cermin sebuah kepemimpinan

pada masa shalafusshalih

dan era kini**


Dikisahkan bahwa suatu hari Umar bin Khattab berkata : sungguh aku tidak pernah ingin menjadi seorang pemimpin karena takut tidak bisa memberikan pertanggung jawaban kelak di depan tuhan, akan tetapi pernah pada suatu malam aku sangat bermimpi menjadi seorang pemimpin dengan membawa panji islam, namun hal ini bukan lahir dari insting pribadi melainkan karena aku mendengar nabi bersabda : ” esok saat peperangan aku akan menyerahkan panji islam pada seorang pemimpin yang mencintai Allah dan Rasulnya, begitu pula sebaliknya, Allah dan Rasul sangat cinta pada dia, tidak hanya itu saja nilai plusnya tapi ia akan dianugrahi tempat yang istimewa oleh pemilik semesta alam yaitu berupa istana di surga dan menjadi tetangga terdekatku ”

Maka berangkat dari sabda itulah sang sahabat yang dijuluki al faruq sangat terobsesi menjadi pembawa panji islam sampai berdoa penuh air mata demi mendapatkan predikat hubb wa mahbub dari Allah dan Rasulnya.

Sayang beribu sayang, ternyata sabda Rasulullah Muhammad tidak ’menimpa’ Umar, melainkan jatuh ketangan sahabat dekatnya yaitu Ali bin Abi Thalib, seorang sahabat yang tidak hanya lihai dalam memainkan pedang tapi lihai pula dalam memainkan pena sehingga beliau mendapat gelar Baabul Ilm

Dari kisah ini tentunya kita bisa menarik kesimpulan bahwa beliau sangat hati – hati dalam mengarungi samudra kehidupan sampai dalam masa hidupnya tidak pernah menginginkan menjadi orang nomer satu sebab begitu berat pastinya beban yang akan dipikul, apalagi menyangkut masalah ummat

Nah, bila kita renungi qishah ini, sudah pasti sebagai generasi yang berilmu kita akan mampu membedakan karakter luhur yang dicerminkan oleh shalafusshalih dengan naluri masyarakat era kini yang penuh dengan nilai – nilai duniawi belaka tanpa peduli pada hasil akhir yang akan dipetik bahkan tidak menilai munaqasah di depan tuhan kelak

Telah menjadi rahasia umum bahwa seorang kandidat pemimpin pada era kini melakukan segala cara untuk saling menjatuhkan pesaingnya baik dengan cara ’putih’ maupun ’hitam’ sehingga tidak salah bila peneliti barat mengatakan bahwa dalam usaha meraih kemenangan, seorang kandidat mesti melakukan unsur – unsur seperti : black campaign, money politik, door to door provocation hingga give a sweet moment pada rakyat yang menjadi target dalam meraup suara maksimal

Dalam fenomena ini yang lucu adalah rakyat yang merupakan ’raja’ ketika ada pesta demokrasi ikut – ikutan melakukan tindakan konyol dengan mau di politisi oleh para calon tersebut, seperti contoh ketika rakyat memilih tidak dengan hati nuraninya sendiri demi terbentuknya masyarakat madani dengan mencoblos calon pemimpin yang paling banyak memberikan ’amplop’ pada mereka, padahal mereka semua mengetahui bahwa tindakannya sangatlah tercela bahkan tidak sedikit yang faham dalil sabda Rasul : ” orang yang memberikan sogok dan menerima sogok adalah penghuni neraka ”

Intinya, bagaimana bangsa ini menjadi lebih baik bila segala cara digunakan untuk kepentingan sepihak belaka?

Mahasiswa sebagai pengemban amanah dan sangat lekat dengan istilah agent of change dan agent of sosial tentunya memiliki rasa tanggung jawab serta peduli pada keadaan yang semakin ora karu – karuan ini dengan mengubah tradisi yang sudah sangat mengakar dalam tubuh negeri tercinta Indonesia

Maka dalam hal ini sepertinya sangat layak bila saya qiaskan petuah dari Imam Syafi`i sebelum beliau berangkat thalabul ilm, Yakni : sebuah air yang ada dalam bak mandi akan mengeruh dan tak enak dipandang bila air tersebut tidak mengalir.

Artinya kita sebagai mahasiswa yang berilmu sangat wajib mengamalkan ilmu yang kita miliki untuk mengubah kemiskinan moral dan sosial pada negeri ini agar tercipta keadaan yang menjadi cita – cita luhur patih gajah madha gemah ripah loh jinawi dan menjadi pengamal tridharma perguruan tinggi seperti belajar, meneliti (baca : mengamati keadaan ) dan mengabdi pada masyarakat





**Abdullah Hanani, Aktifis HMI Fak. Adab yang selalu melangkah dengan sandal jepit