Minggu, 25 September 2011

Islam Trans Nasional : dari ancaman menjadi alternatif **

Sejak peristiwa 9/11 2001, terma Islam trans nasional menjadi sangat populer di kalangan sosiolog dan pengamat politik Islam. Terma ini digunakan untuk mengidentifikasi model gerakan Islam mondial dengan corak tertentu, tersentral, menafikan improvisasi lokal, dan cenderung fundamentalis. Terma-terma lain yang banyak digunakan sebagai sinonim Islam trans nasional di antaranya: Islam Internasional dan Globalised Islam.[2]

Paling tidak, ada dua paradigma yang bisa digunakan untuk melacak akar Islam trans nasional. Pertama,, romantisme khilafah Islamiyah. Sejak runtuhnya Turki Utsmani pada tahun 1924 M., maka secara de jure khilafah Islamiyah berakhir. Walaupun secara de facto barangkali telah lumpuh jauh sebelum itu. Namun hasrat di sebagian kalangan umat Islam untuk menghidupkan kembali sistem khilafah tidak pernah padam. Hasrat ini mengejewantah (dan bermetamorfosa) dalam berbagai bentuk, di antaranya dalam bentuk Islam trans nasional.

Kedua, tekanan arus globalisasi, westernisasi, dan kenyataan muslimin sebagai minoritas di sejumlah negara. Tekanan ini mendorong sebagian umat Islam mencari jalan keluar dan memperkuat asosiasi di antara mereka. Tentu saja, karena globalisasi dan westernisasi menekan tanpa mengenal sekat-sekat negara-bangsa, maka Islam trans nasional menjadi model yang menjanjikan sebagai arus tandingan.

Bila kita batasi kajian ini dalam konteks keindonesiaan, terdapat tiga mainstreams Islam trans nasional yang merambah tanah air. Yakni, arus Ikhwan al-Muslimin yang berhulu di Mesir, Syiah yang dimotori Iran, dan arus Wahhabi yang disokong Arab Saudi. Dalam perjalanannya, gerakan Islam trans nasional acap ‘di persimpangan jalan’ antara bentuk reformis dan bentuk revolusioner; antara tujuan mereislamisasi umat, dan tujuan merengkuh kekuasaan negara.

Baik gerakan yang lebih memilih bentuk reformis maupun bentuk revolusioner sering diapresiasi sebagai ancaman oleh institusi-institusi Islam yang telah mapan dan memiliki akar historis kuat di Indonesia. Pertanyaan yang kemudian merebak ke permukaan: Apa yang salah dengan gerakan-gerakan Islam trans nasional yang masuk ke Indonesia? Tidak adakah solusi yang dapat mendorong gerakan-gerakan tersebut agar mereinkarnasi dari ancaman menjadi alternatif?

Ketika Islam Trans Nasional Menjadi Ancaman

Pimpinan dua ormas terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, telah mewanti-wanti basis massa mereka agar mewaspadai gelombang Islam trans nasional. Peringatan ini, bisa jadi, berangkat dari fenomena-fenomena di lapangan yang mengkristal dalam tiga poin berikut ini:

Pertama, Islam trans nasional disinyalir sebagai kulit luar dari penyebaran madzhab (sekte) tertentu. Ada kecenderungan –yang awalnya samar, namun lama-kelamaan semakin jelas—gerakan Islam trans nasional menjelma menjadi propaganda internasionalisasi Islam ala Syiah, Wahhabi, dan lain-lain.

Kecenderungan inilah yang ditengarai telah menjadikan Islam sebagai kamuflase serta ‘bemper’ saja, dan bukan sebagai ruh yang dominan dalam gerakan-gerakan Islam trans nasional (Islam is never a dominant strategic factor). Indikasi yang paling kuat adalah seringnya gerakan-gerakan Islam trans nasional menyerang model dan praktek keagamaan yang telah mengakar di masyarakat, sekalipun dengan dalih kembali kepada Islam yang murni (return to the ‘pure’ Islam).

Kedua, gerakan Islam trans nasional berpretensi merengkuh kekuasaan negara.[3] Sebagian ingin mewujudkannya dengan tetap mempertahankan bentuk dan konstitusi RI, namun sebagian yang lain menganggap perubahan bentuk dan konstitusi tersebut sebagai prinsip yang tidak bisa ditawar.

NU dan Muhammadiyah yang terlibat intens dalam perjalanan panjang negara-bangsa Indonesia, sejak perjuangan kemerdekaan hingga perumusan konstitusi RI, merasa memiliki keterpanggilan moril untuk menghindarkan bangsa ini dari keterputusan sejarah. Sebab bentuk negara dan konstitusi yang berlaku saat ini diyakini sebagai kompromi terbaik bagi segenap lapisan bangsa Indonesia.

Ketiga, gerakan-gerakan Islam trans nasional acap ‘mengakuisisi’ aset ormas maupun institusi Islam yang lain. Bukan hanya aset basis massa, tetapi juga aset sarana dakwah dan SDM-SDM potensial penggeraknya.

Dalam situasi seperti ini, dialektika yang berkembang antara gerakan-gerakan Islam trans nasional dengan ormas-ormas yang lebih tua kemudian menjauh dari idealitas al-ta’âwun ‘alâ al-birr wa al-taqwâ. Akan tetapi lebih seperti persaingan dua perusahaan taksi yang berebut dalam merekrut sopir yang handal, juga dalam menarik penumpang.

Islam Trans Nasional sebagai Alternatif, Mungkinkah?

Bila muara yang hendak dituju oleh Islam trans nasional adalah berdirinya khilafah Islamiyah, rasanya sangat sulit menjadikannya sebagai gerakan alternatif di Indonesia. Namun tren di berbagai negara saat ini menunjukkan bahwa mayoritas gerakan Islam trans nasional lebih membidik masyarakat daripada mendirikan negara Islam. Olivier Roy, seorang pengamat Islam politik yang berpengaruh, menyatakan, “The contemporary religious revival in Islam is targeting society more than state and calling to the individual’s spiritual needs.”[4]

Proyek shahwah Islamiyah yang dimotori Dr. Yusuf al-Qaradhawi dan menuai dukungan luas di kalangan pengikut dan simpatisan Ikhwan al-Muslimin, tentu lebih layak merepresentasikan arus utama Islam trans nasional dibanding faksi lain semisal Hizbut Tahrir. Demikian pula Ahlu Hadits di kawasan anak benua India dan Harakât Ishlâh di Maroko, dan seterusnya.

Oleh sebab itu, belum tertutup kans bagi Islam trans nasional di Indonesia untuk terbebas dari stigma ‘ancaman’. Syukur-syukur jika kemudian bisa bermetamorfosa menjadi alternatif. Sedikitnya, ada tiga agenda yang perlu dikembangkan dalam kerangka ini:

Satu, mengembalikan Islam trans nasional sebagai wahana pemberdayaan dan asosiasi umat Islam. Terutama dalam menyikapi arus globalisasi, westernisasi, keterbelakangan umat, ketidakadilan, dan seterusnya.

Kaum intelektual Barat yang dikenal objektif berbicara tentang Islam –seperti John L. Esposito, Karen Armstrong serta Olivier Roy—percaya bahwa tekanan globalisasi dan westernisasi merupakan pendorong utama munculnya Islam trans nasional.[5] Adanya faksi yang mengimpikan khilafah Islamiyah bisa jadi sengaja dibesar-besarkan oleh sejumlah media dan pemikir Barat lainnya untuk memantik gejolak dan resistensi di kalangan umat Islam sendiri.

Dua, menghargai perbedaan pendapat dan ‘improvisasi’ lokal. Agenda kedua ini sangat penting guna membuktikan bahwa Islam trans nasional ada untuk kepentingan Islam dan umat Islam secara universal, bukan sebagai ‘kepanjangan tangan’ sekte tertentu.

Barangkali, ungkapan bijak Syaikh Muhammad Abduh menarik untuk direnungkan bersama: “Nata’âwan ‘alâ mâ nattafiq, wa natasâmah fîmâ nakhtalif”, mari kita bahu-membahu dalam hal-hal yang disepakati, dan bersikap toleran dalam hal-hal yang menjadi perbedaan pendapat.

Sikap semacam ini merupakan teladan kearifan para al-Salaf al-Shâlih dalam meyikapi perbedaan di antara mereka. Sebutlah sebagai misal: Imam Abu Yusuf yang tetap bermakmum di belakang Khalifah Harun al-Rasyid yang menunaikan shalat tanpa berwudhu lagi setelah berbekam. Padahal dalam madzhab Imam Abu Yusuf, wudhu’ seseorang batal apabila keluar darah.[6] Pun, Imam Syafi’i yang sering bermakmum kepada ulama Madinah. Padahal beliau tahu, ulama Madinah tidak pernah membaca basmalah dalam shalat, baik dengan suara keras ataupun dalam hati.[7]

Tiga, memberikan perhatian ekstra pada bidang yang tidak rawan konflik horizontal, namun efektif memberdayakan umat. Misalnya, bidang ekonomi. Menurut data OKI, sampai tahun 2001 volume perdagangan antaranegara muslim hanya 10% dari volume perdagangan negara-negara muslim dengan negara-negara non muslim.[8]

Last but not the least, akselerasi Islam trans nasional di Indonesia harus diakui menjadi hikmah tersendiri bagi ormas-ormas yang telah memiliki akar historis kuat di Indonesia. NU dan Muhammadiyah, misalnya, dituntut mampu membumikan fikih ikhtilaf dan meningkatkan amal-pengabdian mereka. Semoga keberagaman gerakan-gerakan Islam ini membawa berkah bagi bangsa Indonesia.


** Abdullah Hakam Shah, Sarjana Al-Azhar Cairo dan Master jebolan Islamabad Univ Pakistan

Ampera Raya, 22 April 2009



[1] Makalah pengantar dalam diskusi FKMSB di Aula Wisma Bahagia IAIN Sunan Ampel Surabaya, 24 April 2009.

[2] Kedua terma ini misalnya digunakan oleh Olivier Roy dalam The Failure of Political Islam, (MA: Harvard University Press, 1995), dan Globalised Islam, (UK: C. Hurst & Co. Publishers, 2004).

[3] Hampir semua gerakan Islam trans nasional sepakat bahwa dengan merengkuh kekuasaan negara akan mempermudah proses reislamisasi umat yang telah terpolusi oleh nilai-nilai tidak islami.

[4] Olivier Roy, Globalised Islam, hlm. 3.

[5] Esposito, John L., What Everyone Needs to Know about Islam, (Oxford: Oxford University Press, 2002), hlm. 135. dan Olivier Roy, op.cit., hlm. Ix.

[6] Al-Dahlâwi, Shah Waliyullah, Hujjatullah al-Bâlighah, (Kairo: Dâr al-Turâts, tt.), 1/159.

[7] Ibnu Taimiyah, Taqiyuddin Ahmad bin Abd Halim, Majmu’ Fatâwâ, (Kairo: Dâr al-Hadits, 2000), 20/362.

[8] Zaqzuq, Mahmud Hamdi, Reposisi Islam di Era Globalisasi, terjemahan Abdullah Hakam Shah, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 7.

Ibu, Idealistas Perempuan**

Mendengar kata ibu, yang ada di benak kita adalah sosok wanita yang tabah, penuh kasih sayang dan kelembutan. Yaach…ibu adalah wanita yang mempunyai banyak kasih sayang dan tak pernah berhenti mengalirkannya untuk sang buah hati dan keluarganya tercinta. Kasih sayangnya tak pernah usang termakan zaman, tiada hentinya sepanjang masa.

Sosok Ibu mencerminkan idealitas seorang wanita dalam kodratnya. Bahkan seringkali bagi anak lelaki mengidentikkan sosok ibunya sebagai idealitas wanita yang didambakan untuk menjadi pendamping hidupnya kelak.

Mencuplik apa yang dinyatakan oleh Sherly Ortner bahwa dalam perspektif jenis kelamin dan gendernya, sebagai wanita ibu mempunyai kekhasan yang merupakan kodratnya.

Secara biologis, ia mempunyai organ-organ tubuh dengan fungsinya yang khusus pula yang sesuai dengan perannya sebagai ibu. Menstruasi, melahirkan dan menyusui adalah fungsi dan perannya sebagai seorang wanita dan ibu. Semua fungsi dan perannya itu dijalani tanpa perlu belajar, karena semua akan terjadi secara alami dan naluriah.

Dalam kehidupan sosial, ibu sebagai seorang wanita akan sering bergesekan dengan peran dan status sosialnya. Tidak berniat menggugah dan menajamkan kembali budaya patriarkhi, hanya memberi sedikit gambaran bahwa ketika seorang wanita yang menjadi ibu harus mengandung dan menyusui, ia akan sering berada di rumah dan menjalankan perannya sebagai seorang ibu rumah tangga. Karena kewajiban ini demi kelangsungan generasinya. Dan dengan kondisi seperti itu, gerak dan aktivitasnya dalam lingkungan sosial akan terbatas. Bukan untuk diskriminasi ekstrim terhadap wanita, namun jelas perlakuan dalam sistem hukum dan sosial pun jelas disesuaikan dengan segala kekhususan dan kondisinya itu.

Secara psikologis, wanita mempunyai kepribadian dasar yang narsistik yang membuat wanita pandai rias diri dan altruistic yang menjadikan seorang ibu mempunyai penuh kasih sayang dan ketabahan. Selain itu, karena wanita mempunyai feminine psyche yang berarti emosional/kecenderungan mendahulukan aspek perasaannya serta cara berfikir yang irrasional. Namun, asumsi ini banyak menimbulkan kontroversi dan pertentangan khususnya di kalangan aktivis gender. Karena seringkali dalam beberapa kasus, wanita justru bisa berfikir lebih praktis dan rasional daripada laki-laki.

Belum lagi masalah-masalah lain yang berkaitan dengan persoalan dilematis yang dialami wanita khususnya seorang ibu. Salah satu contohnya persoalan poligami yang menjadi berita hangat di media massa.

Terlepas dari ciri, kodrat dan stereotype gendernya itu. Bagaimanapun ibu adalah sosok wanita yang membawa kedamaian,

kelembutan dan kegigihan dalam kehidupan rumah tangga, mendidik dan membesarkan anak-anaknya.

Sebagai seorang isteri, ia dengan sabar mendampingi dan memberi dukungan kepada suaminya dalam kondisi susah dan bahagia. Sebagai seorang ibu, ia tabah dan penuh kelembutan mengawal dan memberi kasih sayang kepada anak-anaknya.


Ibu yang pertama kali mengenalkan dunia yang dulu masih asing bagi kita. Ibu yang mengajarkan pada kita cara memandang dunia dan ibu yang selalu sabar membimbing dan mengiringi kita dalam melalui masa-masa perkembangan.


Nah, pertanyaan yang muncul sekarang adalah sejauh mana kita sebagai anak mengerti dan menyadari pengorbanan seorang ibu? Bagaimana cara kita membalas atau setidaknya menghargai segala pengorbanan seorang ibu?walau, seorang ibu tidak pernah menuntut balasan atas segala yang sudah dilakukan itu kepada anaknya. Dan kalaupun ada yang seperti itu, pastinya terjadi di sinetron.


** Himmah al-Akhwafillah, Aktifis gender dan mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Gajayana Malang